Thursday 30 November 2017

Pentingnya Menyambung Silaturrahmi Dalam Islam. WAJIB BACA !

Oleh :  Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn

Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab.

Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling berziarah (berkunjung), saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang sudah dikenal manusia dalam membangun silaturahmi. Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diproleh dari Allah Azza wa Jalla. Silaturahim menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam surga. Silaturahim juga menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat.

Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari Abu Ayyûb al-Anshârî:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.

Silaturahmi juga merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak rizki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ

“Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyambung silaturahmi lebih besar pahalanya daripada memerdekakan seorang budak. Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari Maimûnah Ummul-Mukminîn, dia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ

“Wahai Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan budakku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab, “Ya”. Nabi bersabda, “Seandainya engkau berikan budak itu kepada paman-pamanmu, maka itu akan lebih besar pahalanya”.

Yang amat disayangkan, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau menyambung silaturahmi dengan kerabatnya, kecuali apabila kerabat itu mau menyambungnya. Jika demikian, maka sebenarnya yang dilakukan orang ini bukanlah silaturahmi, tetapi hanya sebagai balasan. Karena setiap orang yang berakal tentu berkeinginan untuk membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepadanya, meskipun dari orang jauh.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Oleh karena itu, sambunglah hubungan silaturahmi dengan kerabat-kerabat kita, meskipun mereka memutuskannya. Sungguh kita akan mendapatkan balasan yang baik atas mereka.

Diriwayatkan, telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan.” [Muttafaq ‘alaihi].

Begitu pula firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”. [ar-Ra’d/13:25].

Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)”. [Mutafaqun ‘alaihi].

Memutus tali silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan dengan orang tua, kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

”Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para sahabat menjawab: ”Mau, ya Rasulullah,” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”.

Demikianlah, betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan setelah dosa syirik kepada Allah Ta’ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam shahîhain, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

”Termasuk perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang tuanya,” maka para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang menghina kedua orang tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Ya, seseorang menghina bapak orang lain, lalu orang lain ini membalas menghina bapaknya. Dan seseorang menghina ibu orang lain, lalu orang lain ini membalas dengan menghina ibunya”.

Wahai orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla. Dan marilah kita melihat diri kita masing-masing, sanak keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan kewajiban atas mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita berlemah lembut terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan mereka? Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar meringankan yang mereka butuhkan?

Ada sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah merawatnya kecuali dengan pandangan yang menghinakan. Dia memuliakan istrinya, tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati teman-temannya, akan tetapi menjahui bapaknya. Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia sedang duduk di atas bara api. Dia berat apabila harus bersama kedua orang tuanya. Meski hanya sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia bertutur kata dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh jika perbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.

Ada pula manusia yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatanya sebagai keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang sepantasnya diberikan sebagai keluarga. Dia tidak mau bertegus sapa dan melakukan perbuatan yang bisa menjalin hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia tidak mau menggunakan hartanya untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba kecukupan, sedangkan sanak keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau menyambung hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu termasuk orang-orang yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam berusaha, sedangkan ia mampu untuk menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mau menafkahinya.

Para ahlul-‘ilmi telah berkata, setiap orang yang mempunyai hubungan waris dengan orang lain, maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada mereka apabila orang lain itu membutuhkan atau lemah dalam mencari penghasilan, sedangkan ia dalam keadaan mampu. Yaitu sebagaimana yang dilakukan seorang ayah untuk memberikan nafkah. Maka barang siapa yang bakhil maka ia berdosa dan akan dihisab pada hari Kiamat.

Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon ampun kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[Diadaptasi oleh Ustadz Abu Sauda` Eko Mas`uri, dari ad-Dhiyâ-ul Lâmi’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, hlm. 505-508]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]



Sumber: https://almanhaj.or.id/2658-betapa-penting-menyambung-silaturahmi.html

Siapakah Golongan Orang - Orang yang Selamat? Berikut Jawabannya

🗒 Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du. Allah Ta'ala berfirman,

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖ 

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." [Ali Imran: 103]

🖇 Allah SWT berfirman:

وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ [٣١] مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا ۗ  كُلُّ حِزْبٍۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ [٣٢]

"Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." [QS. Ar-Ruum: 31-32]

👉 Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. و كل ضلالة في النار

"Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta'at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu, berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan, karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah bid'ah, sedang setiap bid'ah adalah sesat (dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka)." [HR. Nasa'i dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih]

🔗 Dalam hadits yang lain Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ .

"Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda, 'Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu 'al-Jama’ah'." [HR. Ahmad dan yang lain. Al-Hafidh menggolongkannya hadits hasan]

🎋 Dalam riwayat lain disebutkan:

كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.

"Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti di atasnya." [HR. At-Tirmidzi, dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' 5219]

👉 Ibnu Mas'ud meriwayatkan: "Rasulullah membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, 'Ini jalan Allah yang lurus.' Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, 'Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya. Selanjutnya beliau membaca firman Allah , 'Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah dia janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa." [Al-An'am: 153) (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa'i]

🖇 Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah berkata, "... Adapun Golongan Yang Selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dan Ahlus Sunnah, tidak ada nama lain bagi mereka kecuali satu nama, yaitu Ashhabul Hadits (para ahli hadits)."

💐 Allah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada Al-Qur'anul Karim. Tidak termasuk orang-orang musyrik yang memecah belah agama mereka menjadi beberapa golongan dan kelompok. Rasulullah mengabarkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani telah berpecah belah menjadi banyak golongan, sedang umat Islam akan berpecah lebih banyak lagi, golongan-golongan tersebut akan masuk Neraka karena mereka menyimpang dan jauh dari Kitabullah dan Sunnah NabiNya.

❗ Hanya satu Golongan Yang Selamat dan mereka akan masuk Surga. Yaitu Al-Jamaah, yang berpegang teguh kepada Kitab dan Sunnah yang shahih, di samping melakukan amalan para sahabat dan Rasulullah

اللهم اجعلنا من الفرقة الناجية ، ووفق المسلمين لأن يكونوا منها

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk dalam golongan yang selamat (Firqah Najiyah). Dan semoga segenap umat Islam termasuk di dalamnya.

🌎 Referensi : Disalin dari Kitab 'Jalan Golongan Yang Selamat.' Karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Apakah Kita Termasuk Orang Yang Terhalang Kebaikan? Mungkin Ini Penyebabnya

Dialah orang yang terhalang dari ketaatan kepada Allah.

Tahu kalau waktu shalat dhuha itu hingga 6 jam, tapi tidak bisa shalat meski hanya 2 rekaat, padahal hanya 5 menit untuk melakukannya.

Tahu kalau waktu shalat witir itu mulai ba’da isya’ hingga shubuh, bisa sampai 9 jam, tapi tidak bisa shalat witir meski hanya satu rekaat, padahal hanya 3 menit untuk melakukannya.

Tahu kalau waktu sehari semalam itu 24 jam, tapi tidak bisa membaca Qur’an, walaupun hanya 1 juz, padahal hanya membutuhkan waktu ½ jam.. bahkan meski hanya satu halaman, padahal hanya membutuhkan waktu 2 menit.

Tahu kalau lidah itu tidak bertulang dan tidak mudah lelah, tapi dia tidak gunakan berzikir kepada Allah.

Tapi, kalau untuk komen tentang orang lain, atau ustadz, atau bahkan tiang listrik, semangatnya luar biasa.. memang apa manfaatnya untuk dirinya ?!

Begitulah.. kehidupan dunia ini akan terus berjalan, dan manusia akan terus lalai, kecuali mereka Allah rahmati.

Ayolah, sadarkan diri.. ingatlah waktu yang berlalu takkan pernah kembali lagi.. kita hanya punya kesempatan pada waktu yang tersisa saja dari umur kita.

Dunia ini akan kita tinggalkan.. yang terpenting adalah nasib kita di akhirat.. mari persiapkan sebaik-baiknya dengan amal, semoga Allah merahmati kita semua, amin.

Silahkan dishare.. semoga bermanfaat

Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى

Inilah Hukuman Bagi Seseorang Yang Suka Menunda Sholat !!! MENGERIKAN



Ada yang sengaja menunda shalat dengan sengaja hingga keluar waktu. Misal saja mengatur alarm waktu Shubuh ketika matahari sudah terbit atau menunda shalat ‘Ashar hingga waktu Maghrib. Ingat, perbuatan menunda shalat hingga keluar waktu seperti ini termasuk dosa besar dan mesti dinasehati orang seperti itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, “Bagaimana hukum orang yang meninggalkan satu shalat dengan sengaja dengan niat ia akan mengerjakan secara qadha’ ketika sudah habis waktunya? Apakah termasuk dosa besar.”

Jawab beliau,

Iya, mengakhirkan shalat dari waktunya padahla ia wajib menunaikan di waktunya termasuk dosa besar. Bahkan ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu berkata,

الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مِنْ الْكَبَائِرِ

“Jamak antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.”

Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْكَبَائِرِ

“Barangsiapa menjamak dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.” Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan. Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.”

Dalam kitab shahih, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah amalannya.”

Terhapusnya amalan tidaklah ditetapkan melainkan pada amalan yang termasuk dosa besar. Begitu pula meninggalkan shalat Ashar lebih parah daripada meninggalkan shalat lainnya. Karena shalat Ashar disebut dengan shalat wustho[1] yang dikhususkan dalam perintah untuk dijaga. Shalat Ashar ini juga diwajibkan kepada orang sebelum kita di mana mereka melalaikan shalat ini. Jadi, siapa saja yang menjaga shalat Ashar, maka ia mendapatkan dua ganjaran. (Majmu’atul Fatawa, 22: 53-54).

Di kitab yang sama, Ibnu Taimiyah berkata, “Boleh menjamak shalat Maghrib dan Isya, begitu pula Zhuhur dan ‘Ashar menurut kebanyakan ulama karena sebab safar ataupun sakit, begitu pula karena udzur lainnya. Adapun melakukan shalat siang di malam hari (seperti shalat Ashar dikerjakan di waktu Maghrib, pen) atau menunda shalat malam di siang hari (seperti shalat Shubuh dikerjakan tatkala matahari sudah meninggi, pen), maka seperti itu tidak boleh meskipun ia adalah orang sakit atau musafir, begitu pula tidak boleh karena alasan kesibukan lainnya. Hal ini disepakati oleh para ulama.” (Majmu’atul Fatawa, 22: 30)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik untuk menjaga shalat di waktunya.



@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 18 Rabi’ul Awwal 1435 H, 02: 18 PM

Oleh -akhukum fillah- Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

HILANGNYA HUKUM MAKRUH KARENA HAJAT

MAKNA MAKRUH DAN HAJAT

Makruh dan haram termasuk hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Keduanya mengandung makna larangan yang telah ditetapkan dalam syari’at agama Islam. Allâh Azza wa Jalla Yang Maha Mengetahui tahu bahwa seorang mukallaf tidak mampu terus-menerus meninggalkan perkara yang dilarang dalam setiap kondisi dan situasi. Maka Allâh Azza wa Jalla menjadikan keadaan dharûrat (terpaksa) dan hajat, dua sebab gugurnya hukum perkara yang dilarang.

Makruh menurut istilah para fuqaha’ maknanya adalah larangan terhadap suatu perbuatan tanpa adanya ilzâm (keharusan) untuk ditinggalkan. Hukumnya adalah orang yang meninggalkan perkaramakruh dalam rangka imtitsâl (mentaati perintah Allâh Azza wa Jalla ) maka ia mendapatkan pahala, dan orang yang mengerjakannya tidak mendapatkan dosa.[1]

Adapun yang dimaksud dengan hajat adalah suatu keadaan yang dimana seseorang harus melakukan sesuatu,jika dia tidak melakukannya, maka dia akan terjatuh dalam kesempitan dan kesulitan meskipun tidak sampai membahayakan kemaslahatannya yang bersifat dharûri (pokok).[2] Jadi, hajat itu tingkatannya di bawah dharûrat, akan tetapi terkadang mendapatkan hukum dharûrat dalam beberapa keadaan dan menggugurkan hukum haram.

MAKNA KAIDAH

Sebagaimana telah diisyaratkan dalam  penjelasan di atas bahwa kaidah yang sedang kita bahas ini membahas tentang hajat yang bisa menggugurkan hukum makruh. Di mana apabila dalam suatu kondisi seseorang mempuyai hajat untuk mengerjakan suatu perkara yang dilarang dalam syari’at dengan larangan yang tidak sampai pada ilzâm (keharusan), maka ketika itu kemakruhan dalam perkara tersebut gugur dalam rangka memperhatikan hajat hamba tersebut.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan dalam Manzhumah Ushulil Fiqhi wa Qawa’idihi :

وَكُــلُّ مَـمْـنُوْعٍ فَـلِلـضَّرُوْرَةِ      يُـبَاحُ وَالْمَـكْـرُوْهُ عِـنْـدَ الْحَـاجَـةِ

Dan setiap larangan diperbolehkan karena dharurah

                                                Dan perkara makruh diperbolehkan karena hajat[3]

Beliau menjelaskan bait tersebut dengan mengatakan, “Perkara yang makruh boleh dilakukan jika ada hajat, karena perkara yang makruh tingkatannya berada di bawah perkara  haram. Perkara haram dilarang secara ilzâm (wajib ditinggalkan) dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman. Sedangkan perkara makruh dilarang secara aulawiyyah (keutamaan), dan pelakunya tidak diancam dengan hukuman, oleh karena itu diperbolehkan ketika adanya hajat.”[4]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH

Di antara contoh aplikasi kaidah ini adalah sebagai berikut :

Memejamkan mata ketika shalat termasuk perkara yang makruh.[5] Namun jika ia melakukannya karena ada hajat seperti bisa membantunya untuk khusyuk maka itu diperbolehkan.[6]Menoleh ketika shalat termasuk perkara yang makruh, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ

Itulah pencurian yang dilakukan syaitan dari shalat seorang hamba[7]

Namun apabila seseorang menoleh karena adanya hajat maka hal itu diperbolehkan, seperti seseorang yang menoleh untuk meludah ke sebelah kirinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat al-Bukhâri dan Muslim :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ فَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَقَالَ أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا

Dari Anas bin Mâlik, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di arah kiblat (dinding masjid). Beliau merasa terganggu dengannya hingga terlihat di wajah Beliau. Lalu Beliau berdiri dan menggosoknya dengan tangan Beliau. Kemudian Beliau bersabda, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian apabila berdiri dalam shalatnya maka ia sedang bermunajat kepada Rabbnya -atau Rabbnya berada di antara dia dan kiblat-, maka janganlah ia meludah ke arah kiblat. Akan tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya.” Lalu Beliau memegang ujung selendangnya dan meludah padanya, kemudian menggosok-gosokkan kainnya tersebut. Setelah itu Beliau bersabda, “Atau melakukan yang seperti ini.”[8]

Demikian pula jika ia menoleh untuk memastikan keberadaan barang bawaannya ketika khawatir hilang, atau menoleh untuk melihat anaknya jika dikhawatirkan akan jatuh ke lubang atau semisalnya.[9]

Mencicipi makanan bagi orang yang berpuasa termasuk perkara yang makruh. Namun apabila ada hajat untuk melakukannya maka hal itu diperbolehkan.[10]Gerakan yang ringan di dalam shalat selain dari kemaslahatan shalat diperbolehkan apabila ada hajat untuk melakukannya[11], sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat pernah menggendong cucu Beliau Umâmah binti Zainab dan meletakkannya ketika sujud. Disebutkan dalam hadits Abu Qatâdah al Anshâri :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  وَلِأَبِي العَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

Sesungguhnya Rasûlullâh  n pernah shalat dengan menggendong Umâmah bintu Zainab bintu Rasûlullâh n , dari suaminya Abul ‘Ash bin Rabi’ah bin Abdus Syams. Apabila Nabi  n sujud, Beliau letakkan Umâmah dan jika berdiri, Beliau menggendong Umâmah lagi.[12]

Apabila seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah, kemudian ia mendengar seseorang memanggilnya, tapi ia belum tahu pasti orang yang memanggil itu; Apakah ayahnya, ibunya, atau orang lain? Lalu ia menoleh untuk meyakinkan diri maka itu diperbolehkan. Karena dalam kondisi tersebut apabila yang memanggil adalah ayahnya atau ibunya, maka wajib baginya untuk memenuhi panggilan.[13]

Demikian pembahasan singkat dari kaidah ini semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan semakin membuka wawasan kita tentang kaidah-kaidah fiqih dalam agama kita yang mulia ini.[14]

 Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
___
Footnote
[1] Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah, hlm. 58

[2] Lihat al-Muwafaqat karya as-Syâthibi 2/10, al-Mahshûl karya ar-Razi 2/222, Irsyâd al-Fuhûl karya as-Syaukani hlm. 216, Raf’u al-Haraj fi as-Syarî’ah al-Islâmiyyah karya Dr. Ya’qub Aba Husain, hlm. 600.

[3] Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 59.

[4] Idem, Hlm. 62.

[5] Sebab makruhnya adalah menyerupai perbuatan orang-orang majusi ketika beribadah kepada matahari dan bulan. Ada pula yang mengatakan bahwa sebab makruhnya karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi, padahal Nabi n melarang kita dari menyerupai orang-orang kafir. (Lihat Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 59).

[6] Lihat ar-Raudh al-Murbi’ bi Syarh Zad al-Mustaqni’karya Manshur al-Buhuthi, hlm. 55

[7] HR. Al-Bukhâri no. 751

[8] HR. Al-Bukhâri no 405 dan Muslim no. 551

[9] Namun yang dimaksud menoleh di sini adalah menoleh yang sifatnya ringan. Adapun jika seseorang menoleh dengan seluruh badannya atau sampai membelakangi kiblat, maka itu membatalkan shalat, kecuali jika dilakukan karena udzur berupa ketakutan yang sangat dan semisalnya. (Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 58)

[10] Lihat ar-Raudh al-Murbi’ bi Syarh Zad al-Mustaqni’karya Manshur al-Buhuthi, hlm. 127.

[11] Lihat at-Ta’lîq ‘ala al-Qawâ’id wa al-Ushûl al-Jâmi’ah wa al-Furûq wa at-Taqâsim al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hlm. 337-338.

[12] HR. Al-Bukhâri no. 494, dan Muslim no. 543.

[13] Yaitu jika ia tidak mengetahui apakah orang tuanya ridha atau tidak jika ia tidak memenuhi panggilannya. (Lihat Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hlm. 63

[14] Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalâh, Nashir bin ‘Abdillah al-Maiman, Cet. II, Tahun 1426 H/2005 M, Jami’ah Ummul Qura, Makkah al-Mukarramah, hlm. 302-303


Sumber: https://almanhaj.or.id/

JANGAN PERNAH IKUT-IKUTAN GAYA ORANG KAFIR !!! BAHAYA BANGET....

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal Saat ini muslim tidak lagi punya kekhasan sendiri...