MAKNA MAKRUH DAN HAJAT
Makruh dan haram termasuk hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Keduanya mengandung makna larangan yang telah ditetapkan dalam syari’at agama Islam. Allâh Azza wa Jalla Yang Maha Mengetahui tahu bahwa seorang mukallaf tidak mampu terus-menerus meninggalkan perkara yang dilarang dalam setiap kondisi dan situasi. Maka Allâh Azza wa Jalla menjadikan keadaan dharûrat (terpaksa) dan hajat, dua sebab gugurnya hukum perkara yang dilarang.
Makruh menurut istilah para fuqaha’ maknanya adalah larangan terhadap suatu perbuatan tanpa adanya ilzâm (keharusan) untuk ditinggalkan. Hukumnya adalah orang yang meninggalkan perkaramakruh dalam rangka imtitsâl (mentaati perintah Allâh Azza wa Jalla ) maka ia mendapatkan pahala, dan orang yang mengerjakannya tidak mendapatkan dosa.[1]
Adapun yang dimaksud dengan hajat adalah suatu keadaan yang dimana seseorang harus melakukan sesuatu,jika dia tidak melakukannya, maka dia akan terjatuh dalam kesempitan dan kesulitan meskipun tidak sampai membahayakan kemaslahatannya yang bersifat dharûri (pokok).[2] Jadi, hajat itu tingkatannya di bawah dharûrat, akan tetapi terkadang mendapatkan hukum dharûrat dalam beberapa keadaan dan menggugurkan hukum haram.
MAKNA KAIDAH
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam penjelasan di atas bahwa kaidah yang sedang kita bahas ini membahas tentang hajat yang bisa menggugurkan hukum makruh. Di mana apabila dalam suatu kondisi seseorang mempuyai hajat untuk mengerjakan suatu perkara yang dilarang dalam syari’at dengan larangan yang tidak sampai pada ilzâm (keharusan), maka ketika itu kemakruhan dalam perkara tersebut gugur dalam rangka memperhatikan hajat hamba tersebut.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan dalam Manzhumah Ushulil Fiqhi wa Qawa’idihi :
وَكُــلُّ مَـمْـنُوْعٍ فَـلِلـضَّرُوْرَةِ يُـبَاحُ وَالْمَـكْـرُوْهُ عِـنْـدَ الْحَـاجَـةِ
Dan setiap larangan diperbolehkan karena dharurah
Dan perkara makruh diperbolehkan karena hajat[3]
Beliau menjelaskan bait tersebut dengan mengatakan, “Perkara yang makruh boleh dilakukan jika ada hajat, karena perkara yang makruh tingkatannya berada di bawah perkara haram. Perkara haram dilarang secara ilzâm (wajib ditinggalkan) dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman. Sedangkan perkara makruh dilarang secara aulawiyyah (keutamaan), dan pelakunya tidak diancam dengan hukuman, oleh karena itu diperbolehkan ketika adanya hajat.”[4]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh aplikasi kaidah ini adalah sebagai berikut :
Memejamkan mata ketika shalat termasuk perkara yang makruh.[5] Namun jika ia melakukannya karena ada hajat seperti bisa membantunya untuk khusyuk maka itu diperbolehkan.[6]Menoleh ketika shalat termasuk perkara yang makruh, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ
Itulah pencurian yang dilakukan syaitan dari shalat seorang hamba[7]
Namun apabila seseorang menoleh karena adanya hajat maka hal itu diperbolehkan, seperti seseorang yang menoleh untuk meludah ke sebelah kirinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat al-Bukhâri dan Muslim :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ فَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَقَالَ أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا
Dari Anas bin Mâlik, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di arah kiblat (dinding masjid). Beliau merasa terganggu dengannya hingga terlihat di wajah Beliau. Lalu Beliau berdiri dan menggosoknya dengan tangan Beliau. Kemudian Beliau bersabda, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian apabila berdiri dalam shalatnya maka ia sedang bermunajat kepada Rabbnya -atau Rabbnya berada di antara dia dan kiblat-, maka janganlah ia meludah ke arah kiblat. Akan tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya.” Lalu Beliau memegang ujung selendangnya dan meludah padanya, kemudian menggosok-gosokkan kainnya tersebut. Setelah itu Beliau bersabda, “Atau melakukan yang seperti ini.”[8]
Demikian pula jika ia menoleh untuk memastikan keberadaan barang bawaannya ketika khawatir hilang, atau menoleh untuk melihat anaknya jika dikhawatirkan akan jatuh ke lubang atau semisalnya.[9]
Mencicipi makanan bagi orang yang berpuasa termasuk perkara yang makruh. Namun apabila ada hajat untuk melakukannya maka hal itu diperbolehkan.[10]Gerakan yang ringan di dalam shalat selain dari kemaslahatan shalat diperbolehkan apabila ada hajat untuk melakukannya[11], sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat pernah menggendong cucu Beliau Umâmah binti Zainab dan meletakkannya ketika sujud. Disebutkan dalam hadits Abu Qatâdah al Anshâri :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي العَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا
Sesungguhnya Rasûlullâh n pernah shalat dengan menggendong Umâmah bintu Zainab bintu Rasûlullâh n , dari suaminya Abul ‘Ash bin Rabi’ah bin Abdus Syams. Apabila Nabi n sujud, Beliau letakkan Umâmah dan jika berdiri, Beliau menggendong Umâmah lagi.[12]
Apabila seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah, kemudian ia mendengar seseorang memanggilnya, tapi ia belum tahu pasti orang yang memanggil itu; Apakah ayahnya, ibunya, atau orang lain? Lalu ia menoleh untuk meyakinkan diri maka itu diperbolehkan. Karena dalam kondisi tersebut apabila yang memanggil adalah ayahnya atau ibunya, maka wajib baginya untuk memenuhi panggilan.[13]
Demikian pembahasan singkat dari kaidah ini semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan semakin membuka wawasan kita tentang kaidah-kaidah fiqih dalam agama kita yang mulia ini.[14]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
___
Footnote
[1] Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah, hlm. 58
[2] Lihat al-Muwafaqat karya as-Syâthibi 2/10, al-Mahshûl karya ar-Razi 2/222, Irsyâd al-Fuhûl karya as-Syaukani hlm. 216, Raf’u al-Haraj fi as-Syarî’ah al-Islâmiyyah karya Dr. Ya’qub Aba Husain, hlm. 600.
[3] Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 59.
[4] Idem, Hlm. 62.
[5] Sebab makruhnya adalah menyerupai perbuatan orang-orang majusi ketika beribadah kepada matahari dan bulan. Ada pula yang mengatakan bahwa sebab makruhnya karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi, padahal Nabi n melarang kita dari menyerupai orang-orang kafir. (Lihat Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 59).
[6] Lihat ar-Raudh al-Murbi’ bi Syarh Zad al-Mustaqni’karya Manshur al-Buhuthi, hlm. 55
[7] HR. Al-Bukhâri no. 751
[8] HR. Al-Bukhâri no 405 dan Muslim no. 551
[9] Namun yang dimaksud menoleh di sini adalah menoleh yang sifatnya ringan. Adapun jika seseorang menoleh dengan seluruh badannya atau sampai membelakangi kiblat, maka itu membatalkan shalat, kecuali jika dilakukan karena udzur berupa ketakutan yang sangat dan semisalnya. (Lihat al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 58)
[10] Lihat ar-Raudh al-Murbi’ bi Syarh Zad al-Mustaqni’karya Manshur al-Buhuthi, hlm. 127.
[11] Lihat at-Ta’lîq ‘ala al-Qawâ’id wa al-Ushûl al-Jâmi’ah wa al-Furûq wa at-Taqâsim al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hlm. 337-338.
[12] HR. Al-Bukhâri no. 494, dan Muslim no. 543.
[13] Yaitu jika ia tidak mengetahui apakah orang tuanya ridha atau tidak jika ia tidak memenuhi panggilannya. (Lihat Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hlm. 63
[14] Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalâh, Nashir bin ‘Abdillah al-Maiman, Cet. II, Tahun 1426 H/2005 M, Jami’ah Ummul Qura, Makkah al-Mukarramah, hlm. 302-303
Sumber: https://almanhaj.or.id/
No comments:
Post a Comment